Minggu, 25 Januari 2009

Purnomo : Akan Lahir Bintang-bintang Baru



BAGAIMANA rasanya bisa berada dalam satu lintasan dengan seseorang yang menjadi idola kita? Tanyakan itu kepada Purnomo Muhammad Yudi. Pada masa mudanya, laki-laki kelahiran Ajibarang, Jawa Tengah, 16 Juli 1962, itu begitu mengidolakan juara lari 100 meter Olimpiade Moskow Allan Wells. Ia bahkan menempelkan poster sang bintang asal Inggris itu di lemari pakaiannya.

Ia tidak menduga suatu hari ia akan berkesempatan berlaga dengan sang idola, bahkan berhasil memecundanginya. Itulah yang terjadi di pertarungan semifinal 100 meter Olimpiade Los Angeles 1984. Hari itu, Jumat 3 Agustus 1984, Purnomo tidak hanya menjadi sprinter kebanggaan Indonesia, tetapi juga menjadi satu-satunya wakil Benua Asia yang berhasil masuk semifinal dalam perebutan gelar manusia tercepat di muka Bumi.

"Olimpiade Los Angeles adalah momentum yang paling berkesan dalam perjalanan saya sebagai pelari karena saya menjadi satu-satunya pelari Asia yang bisa masuk semifinal mengalahkan pelari Eropa dan Afrika," ujar Purnomo.

Meskipun gagal lolos ke final, catatan waktu 10,51 detik yang dibuatnya lebih baik dari Wells. Idolanya itu menyentuh garis finis di belakang Purnomo dengan catatan waktu 10,71 detik. Sepulangnya ke Indonesia, Purnomo pun mencopot poster sang idola dan menyimpannya di balik lemari.

Prestasi gemilang Purnomo itu kembali diulanginya pada Kejuaraan Dunia Atletik Gelanggang Tertutup 18-19 Januari 1985 di Paris. Ia berhasil masuk ke semifinal nomor 60 meter dan 200 meter.

Purnomo mulai diperhitungkan khalayak atletik setelah penampilannya di kejuaraan atletik terbuka di Bandung pertengahan 1982. Purnomo berhasil mengalahkan sprinter terkuat Indonesia masa itu, Jeffery Matahelemual. Prestasinya terus melejit tak terbendung. Di kejuaraan nasional atletik September 1982 ia menggondol dua medali emas di nomor 100 meter dan 200 meter.

Kini setelah 20 tahun berlalu, Purnomo tidak lagi mengayunkan kakinya di lintasan atletik. Ia sibuk mengurusi Level Eight, perusahaan media luar ruang yang didirikannya bersama dua rekannya pada tahun 2001. Hasil karyanya bisa dilihat di sekitar Plaza Senayan. "Enggak jauh-jauh dari tempat saya tanding dulu," ujarnya seraya terkekeh.

MESKIPUN sudah gantung sepatu, toh ia tidak sepenuhnya berpisah dengan bidang yang pernah menjadi bagian hidupnya selama bertahun-tahun. Saat ini Purnomo menjabat sebagai Ketua Bidang Dana dan Usaha di kepengurusan PB PASI periode 2004-2008.

Rabu (8/9) lalu ia sempat melihat penerus-penerusnya berlaga di ajang PON XVI Palembang. "Tiga atau empat tahun lagi bintang-bintang baru atletik akan lahir," kata Purnomo optimistis.

Jika menilik kondisi cabang atletik Indonesia yang sedang memasuki masa-masa suram, beberapa tahun belakangan ini, lontaran itu mungkin akan mengundang reaksi pesimistis. Tetapi lain halnya apabila kita melihat ke belakang.

Berkaca pada pengalamannya itu, Purnomo merasa yakin atletik Indonesia akan bisa kembali ke puncak kejayaannya. Tetapi untuk mencapai itu, ia mengakui banyak ketertinggalan yang harus dikejar dan berbagai hal perlu dibenahi. "Atletik kita sempat vakum lama tanpa kompetisi, sekarang kita harus mulai dari nol lagi," cetus Purnomo.

Penyebaran sarana olahraga yang memadai dan pencarian bibit sprinter dinilainya sebagai sejumlah hal yang penting dilakukan untuk mengejar ketertinggalan prestasi atletik di Tanah Air. (DOT)

Sumber : KOMPAS

Jumat, 23 Januari 2009

Hari Ini, Atlet Indonesia Bertolak ke Sydney





Jakarta: Empat sprinter putra Indonesia, yang akan terjun di dalam nomor 4 kali 100 meter pada Olympiade Sydney 2000, memasang target masuk semifinal, seperti pernah diraih pada olympiade atlanta 1984. Sementara sprinter putri, Irene Joseph, yang akan turun pada nomor 100 meter tidak mau mengumbar janji. Ia menyatakan akan tampil sebaik mungkin.

Tim atletik putra Indonesia akan menurunkan kwartet yakni Erwin Heru Susanto, Yanes Rababa, Jhon Murai dan Subakir. Kwartet ini akan mencoba menembus babak semifinal Olympiade Sydney 2000 yang akan digelar pertengahan September ini. Menurut rencana, hari ini, Selasa (5/9), tim atletik akan bertolak ke Sydney Australia, bersama kontingen atlet Indonesia lain.

Target menembus semifinal pada nomor estafet tersebut, sebelumnya pernah diraih tim atletik putra Indonesia pada Olympiade Atlanta 1984. Waktu itu, Indonesia diperkuat kwartet Purnomo, Cristian Nenepat, Karjono dan Ernawan. Sementara sprinter putri tercepat Indonesia, Irene Joseph, yang akan berlaga pada nomor cepat 100 meter, tidak mau mengumbar janji. Ia hanya ingin menampilkan kemampuan maksimalnya.

Tim atletik Indonesia yang akan berlaga pada Olympiade Sydney 2000 ini berjumlah enam orang. Mereka adalah, Erwin Heru Susanto, Jhon Murai, Subakir, Sukari, Yanes Rababa dan Irene Joseph. Keenam atlet tersebut hanya akan terjun pada nomor bergengsi 100 meter dan estafet 4 x 100 meter. Kesempatan ini mereka genggam setelah lolos pada kualifikasi pra Olympiade di Brunei dan Jepang


sumber :http://www.kemenegpora.go.id

Suryo Pasang Target Ganda




M Gibran, Kontributor INILAH.COM
Suryo Agung Wibowo
(istimewa)




INILAH.COM, Jakarta – Sprinter Suryo Agung Wibowo tampil untuk pertama kalinya di Olimpiade. Dia memasang target ganda: lolos ke semifinal dan mematahkan rekor Mardi Lestari. Mampukah dia mewujudkan impiannya di Beijing?

Bagi publik Indonesia, Olimpiade 1984 di Los Angeles tak hanya diingat karena lagu resminya, All Night Long mencapai puncak popularitas. Lebih dari itu, pesta olahraga empat tahunan itu diingat karena itulah pertama kalinya putra terbaik Indonesia tampil di semifinal nomor 100 m Olimpiade.

Saat itu, seorang anak muda dari Banyumas, Purnomo Muhammad Yudhi unjuk gigi. Dia menerobos semifinal Olimpiade. Dia satu-satunya sprinter Asia yang menembus 16 besar. Lainnya? Nama-nama mentereng; Carl Lewis hingga Calvin Smith.

Purnomo saat itu memang sedang bersinar. Setahun sebelum Olimpiade, dia mematahkan rekor berusia 21 tahun milik Mohammad Sarengat. Dia berlari dengan waktu 10,39 detik, hanya 0,01 detik lebih cepat dari catatan Sarengat yang dibukukan di Asian Games 1962.

Empat tahun berikutnya, Mardi Lestari yang mengulanginya. Dia juga menembus semifinal Olimpiade 1988 di Seoul. Catatan waktunya 10,32 detik. Lebih baik dari catatan waktu Purnomo di Los Angeles. Tapi, Mardi juga tak bisa apa-apa ketika berhadapan dengan raksasa Ben Johnson dan Carl Lewis.

Mardi, anak muda asal Binjai, Sumatera Utara, pernah mengukuhkan dirinya sebagai pelari tercepat Asia. Dia sempat menyelesaikan jarak 100 meter itu dalam waktu hanya 10,20 detik.

Setelah dua dasawarsa tenggelam, kini Indonesia kembali mengikutsertakan sprinter ke Olimpiade. Tiket itu dipegang Suryo Agung Wibowo, anak muda Solo yang kini jadi pelari jarak pendek terbaik di Tanah Air. Jika Mardi pernah jadi yang tercepat di Asia, Suryo tercepat di Asia Tenggara.

"Tampil di Olimpiade merupakan impian semua atlet, termasuk saya. Saya akan bangga bisa bersanding dengan pemegang rekor dunia, Usain Bolt dari Jamaika," ujarnya di Jakarta.

Suryo memang tak bisa bermimpi terlalu jauh. Tak bisa berangan-angan bisa pulang membawa medali emas. Hanya keajaiban yang bisa membawanya mengalahkan sprinter-sprinter papan atas dunia.

Tapi, bukan berarti dia tak memasang target di Olimpiade yang hari ini resmi dibuka di Beijing. "Target saya mencapai babak semi final dan juga memecahkan rekor nasional atas nama saya sendiri," lanjut Suryo.

Suryo memegang rekor nasional dengan catatan waktu 10,25 detik. Rekor ini dibuatnya di SEA Games XXIV/2007 di Nakhon Rachasima, Thailand, tahun lalu.

Mungkinkah menembus semifinal? Mungkin saja! Untuk melaju ke semifinal, menurut Sekjen PB Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI), ada empat heat yang harus dilewati Suryo.

"Suryo, menurut saya, tidak perlu ngotot di babak awal. Kalau langsung tancap gas, bisa-bisa tubuhnya akan kaku. Ini akan fatal untuk babak berikutnya," ujarnya.

Catatan waktu terbaik Suryo, 10,25 detik, memang masih jauh bila dibandingkan sprinter-sprinter papan atas dunia. Tapi, bukan berarti tak ada celah yang bisa ditembus.

"Sekarang ini banyak pelari dunia yang bisa mencapai 9 detik. Tapi mereka juga akan tampil santai di babak penyisihan lalu mereka akan memaksimalkan tenaganya di final," jelasnya. Itulah yang mesti dimanfaatkan Suryo.

Suryo bukan satu-satunya atlet atletik Indonesia yang berlomba di Beijing. Ada pula atlet putri Dedeh Herawati yang tampil di nomor lari gawang 100 meter. Dibanding Suryo, peluang Dedeh justru lebih sulit. Tapi dia tak pesimistis. “Kalau ada kemauan, pasti bisa," ujarnya. [I4]

Sumber : inilah.com

Siapa Manusia Tercepat di Asia Tenggara?


PADA cabang atletik, yang banyak menyediakan kepingan medali emas, nomor yang paling bergengsi dan ditunggu penonton adalah lari 100 meter. Padahal dalam ''hitungan'' ke-10 (10 detik), atlet yang berlomba sudah ''menghilang'' dari pandangan mata.

Bagi pendatang baru yang ciut nyalinya, dia pasti mengalami ketegangan luar biasa, sehingga catatan prestasinya bisa melorot atau tak sebaik di kala latihan. Namun ada kalanya pula atlet baru justru mampu membuat kejutan besar, dengan menembus garis finish terdepan.

Itu bisa terjadi, lantaran dirinya tak terbebani target. Bila atlet senior mampu melaju dengan manis untuk merebut medali emas, itu memang karena dia sarat pengalaman.

Ada kalanya pula sprinter unggulan musti tersisih di babak penyisihan, sebab ketahuan mencuri start atau tiba-tiba mengalami kram kaki karena kurang pemanasan atau terlalu tegang.

Masih banyak lagi pernik-pernik lainnya yang mewarnai lomba di lintasan lari 100 meter.

Indonesia dulu sangat kuat di nomor ini. Pada arena Asian Games 1962 di Jakarta M Sarengat meraih medali emas dengan catatan waktu 10,4 detik.

Pada era 1980-an, kita punya atlet asal Jawa Tengah, Purnomo.

Dia mampu melejit merebut medali perak pada Kejuaraan Asia 1983 di Kuwait. Prestasi tersebut kembali diulang oleh atlet kelahiran Ajibarang ini pada Kejuaraan Asia di Jakarta 1985. Setahun sebelumnya, Purnomo berhasil pula masuk 16 besar (semifinalis) pada Olimpiade Los Angeles.

Usai era Purnomo, muncul Mardi Lestari, yang juga mampu menembus semifinal Olimpiade Seoul 1988.

Setelah itu muncul atlet-atlet potensial seperti Agus Ngamel (Jatim), Erwin Heru (DIY), Sukari (Jatim), Jenis Raubaba, dan John Muray (Papua). Namun, mereka belum mampu berbicara lantang di tingkat Asia Tenggara.

Pemain Persis

Pada SEA Games XXII kali ini, kita memiliki harapan baru. Dia adalah Suryo Agung. Atlet asal Solo berusia 20 tahun ini akan mendampingi rekannya yang lebih senior, John Muray (25 tahun). Muray mempunyai catatan waktu 10,56 detik, sedangkan catatan terbaik Agung 10,46 detik.

Memang, prestasi tersebut masih jauh dibanding rekor SEA Games yang diukir atlet Thailand, Reachai Seeharwoong 10,26 detik (Brunei 1999). Namun perolehan waktu mantan pemain Persis Yunior itu diharapkan menjadi modal bagi persaingan di Hanoi.

Agung yang masih berusia muda membersitkan harapan baru. Sebab, catatan waktunya terus saja meroket. Adalah Pak Kembar (pelatih atletik Solo) yang mengendus talenta besarnya.

Pak Kembar menganjurkan ikut lari 100 m, setelah menyaksikan Agung yang paling cepat larinya di kala pemanasan sebelum bermain sepakbola.

Setelah berlatih ala kadarnya, atlet kelahiran Solo 8 Oktober 1983 ini berangkat ke Kejurnas Yr di Jakarta tahun 2000. Talentanya cukup besar, buktinya dia langsung merebut juara dengan waktu 11,09 detik.

Kemudian sia masuk ke Diklat PPLP Jateng di Salatiga. Setengah tahun di diklat, tak ada tokoh olahraga yang mengendus bakat besarnya. Dia pun main bola lagi.

April 2002 sia dipanggil Pelatnas di Jakarta. Talentanya memang luar biasa, dalam tempo tiga bulan, Juli 2002, Agung kembali merebut juara nasional. Kemudian di Kejuaraan Asia Yr di Jakarta, catatan waktunya tambah tajam, 10,64 detik.

Kemudian pada Indonesia Terbuka di Jakarta 2003, prestasinya diperbaiki lgi menjadi 10,57 detik. Terakhir di Seleknas SEA Games pertengahan Oktober lalu, catatan waktunya semakin tajam menjadi 10,46 detik.

Memang dengan catatan tersebut, diprediksi pengamat sulit baginya merebut medali emas di Hanoi. Namun, pada SEA Games XXI Kualalumpur 2001, catatan tiga peringkat teratas masih lebih baik darinya.

Reechai Seeharwoong (Thailand) yang meraih emas menorehkan 10,29 detik. Perak untuk pelari Singapura Umagla Shyam: 10,37 detik dan perunggu Kongdeh Natete (Thailand) 10,45 detik.

Bila mampu meraih medali perunggu, bagi Agung itu sudah merupakan prestasi.

Namun siapa tahu Agung bisa tampil lebih dahsyat dalam memperbaiki catatan waktunya. Apalagi di Pelatnas ada pelatih asal Jerman, Hans Piter Thumm yang terus memoles teknis, speed dan power-nya.

Dengan adanya lawan-lawan bagus, biasanya motivasi menang atlet akan terbakar dengan dahsyat. Jika mampu menembus catatan temponya 10,3 detik, logikanya dia mengamankan dirinya merebut medali perak.

Mardi pernah tak diunggulkan, namun mampu merebut medali emas sekaligus menumbangkan favorit kuat saat itu, Niti Piyapon.

Mudah-mudahan Agung yang tak dibebani target mampu mengalahkan Seeharwoong (28 tahun) dan merebut medali emas di Hanoi seperti Mardi dulu.(Paulus Noor Mulia-22)

Sumber : Suara Merdeka

Minggu, 18 Januari 2009

Dulu Pelari, Kini Pengusaha Sukses

Kamis, 18 Januari 2007
Oleh :

Dalam sejarah olah raga atletik Indonesia, nama Purnomo sangat dikenal. Di tahun 1980-an, ayah empat putra, kelahiran Purwokerto, 12 Juli 1962 ini pernah menorehkan prestasi gemilang dan membawa nama harum bangsa Indonesia, bahkan Asia. Ia menjadi satu-satunya wakil Benua Asia yang berhasil masuk semifinal 100 meter Olimpiade 1984, mengalahkan pelari Eropa dan Afrika. Malahan, ia mencatat rekor dengan catatan waktu lebih baik dibanding Allan Wells, juara lari 100 meter Olimpiade Moskow yang menjadi idolanya. Selain juga menjadi Juara Asia Terbuka di Taiwan tahun 1984, Purnomo berhasil masuk semifinal 60 meter dan 200 meter Kejuaraan Dunia Atletik Gelanggang Tertutup di Paris tahun 1985.

Prestasi tersebut tentu saja membuat Purnomo bangga. Akan tetapi pada akhirnya, ia mesti memilih berhenti lebih dini. Mengapa? “Saya sudah mengukur kemampuan saya. Bagi saya, menjadi orang nomor satu di Asia, sudah lebih dari cukup,” katanya. Alasan lain, ia harus segera berpikir tentang masa depan. Untungnya, ia adalah atlet Pelatnas yang menyadari pentingnya pendidikan sejak dahulu. Saat masuk Pelatnas, kesempatan untuk mengenyam pendidikan gratis terbuka luas. Ia pun memilih kuliah manajemen perbankan di Perbanas, Jakarta, dengan harapan bisa berkarier di dunia perbankan, dunia yang didambakan banyak orang saat itu.



Setelah menyelesaikan kuliah tahun 1986, Purnomo mulai mundur dari dunia atletik, meski tidak sepenuhnya. Ia masih harus membantu memberikan motivasi kepada tim Pelatnas lainnya. Baru pada 1989, ia benar-benar menghilang dari dunia atletik, dan memilih konsentrasi bekerja sebagai staf promosi usaha Bank Dagang Negara (kantor pusat). Purnomo sendiri telah menjadi karyawan BDN sejak 1983. “Saya juga melanjutkan kuliah S-1 dan baru lulus tahun 1991,” katanya. Di perusahaan ini, ia mendapat pengetahuan dan pengalaman membuat program-program promosi untuk meningkatkan merek perusahaan.



Pengetahuan Purnomo semakin luas dan terasah tajam saat ia menjadi Asisten Manajer Promosi sepatu merek Nike di Indonesia. Ia berkesempatan memperoleh pelatihan rutin tentang pemasaran dan komunikasi pemasaran – khususnya promosi – di beberapa negara. “Insting bisnis saya juga berkembang,” ungkap penggemar golf, yang terbilang sukses membuat program-program promosi dan memperkuat merek Nike di Indonesia. “Strategi saya waktu itu memang tidak banyak melakukan promosi di media karena biayanya mahal. Saya promosi direct ke para atlet,” katanya. Banyak kegiatan promosi langsung diluncurkan Purnomo, di antaranya mensponsori atlet seperti Angelica Wijaya dan Yayuk Basuki untuk memakai berbagai atribut merek Nike. Hubungan dengan berbagai lembaga atau organisasi keolahragaan juga diperkuatnya.



Setelah 10 tahun menekuni bidang tersebut, muncullah ketidakpuasannya menjadi karyawan. Purnomo bersama dengan seorang temannya, Julius O. Ruslan, kemudian mengibarkan perusahaan media luar ruang sendiri dengan bendera PT Level Delapan Utama, atau yang lebih dikenal sebagai Leveleight Media. “Ini bidang yang sangat saya pahami,” kata Purnomo yang mengundurkan diri dan kemudian aktif mengelola Leveleight sejak 2003. Sejak awal, sudah ada pembagian tugas secara jelas. Purnomo sebagai Direktur Pengembangan Bisnis yang bertugas mencari proyek. Sementara Julius yang lebih banyak mendanai bisnis menjabat Chief Vision Officer, yang banyak berhubungan dengan para klien dalam aktivitas pemasaran.



Meski memiliki pengalaman, ternyata tidaklah mudah mengembangkan bisnis ini. Maklum, jumlah pemainnya sangat banyak, mencapai ratusan. Namun, rata-rata mereka adalah perusahaan kecil yang hanya berfungsi sebagai calo – dengan menjual pengelolaan titik lokasi – pada perusahaan besar. Adapun jumlah pemain besarnya masih bisa dihitung dengan jari. Purnomo tidak ingin menjadi calo. “Saya mau bekerja dan ingin maju. Prinsip saya ternyata cocok dengan Julius,” ucapnya.



Maka, dibutuhkan upaya ekstrakeras demi membuat klien percaya. Berdasarkan pengalaman, meski Leveleight memiliki titik lokasi bagus, terkadang klien yang tidak percaya pada perusahaan baru akan meminta berhubungan dengan perusahaan besar itu. Ia memaklumi karena di bisnis ini memang sering terjadi pemalsuan. Namun, setelah klien melakukan pengecekan sendiri, baru mereka percaya.



Di saat awal, Leveleight sempat menggegerkan dunia agensi media luar ruang. Sebagai pemain baru, Leveleight pernah memenangi tender senilai sekitar Rp 1,3 miliar. “Sekarang kalau ikut lelang, kami menang terus. Kami juga heran,” ujar Purnomo. Untuk menentukan harga agar bisa menang tender, biasanya ia dan Julius berdiskusi. Julius yang jago menghitung merumuskan harga; sedangkan Purnomo dengan menggunakan feeling-nya memberikan masukan.



Purnomo mengamini bahwa di bisnis ini dibutuhkan feeling untuk mengetahui titik lokasi yang baik dengan harga yang tepat. Tak kalah penting, dalam bisnis ini, lobi juga penting untuk memperoleh proyek. “Gaya lobi saya sebenarnya biasa-biasa saja. Tapi saya baru sadar bahwa nama saya bisa menjadi nilai tambah. Dulu saat menjadi juara, saya nggak dapat harta benda di situ. Setelah retired dan berbisnis, saya mendapat kemudahan. Inilah hikmahnya,” Purnomo bertutur.



Purnomo memang memiliki banyak teman. Dari gubernur, wali kota, pejabat, anak presiden, hingga konglomerat dan tokoh lainnya. Dalam hal pergaulan, Julius memberikan acungan jempol. Di matanya, Purnomo adalah orang yang sangat ulet dan supel. “Kesuksesan beliau karena orangnya sangat fleksibel. Di mana saja beliau bisa menyesuaikan diri,” kata Julius yang berusia 32 tahun ini. Julius menambahkan, sikap positif dalam diri Purnomo seperti pantang mundur dan bermental juara inilah yang mungkin sudah biasa ditempa semasa di Pelatnas.



Meski mendapat kemudahan, Purnomo selalu bertekad untuk bekerja secara profesional. “Kalau pejabat memberi pekerjaan, tentu ia mikir, apakah saya bisa kerja atau nggak ya,” katanya. Pasalnya, banyak contoh, yang dibantu pejabat tapi hanya sebagai calo yang hanya mengambil fee. Lain Purnomo, begitu mendapatkan kesempatan dan kepercayaan, ia selalu bertekad menjalankannya secara benar. Ia yakin dukungan tim solid berjumlah 55 orang dan bisa bersinergi dengan baik merupakan kekuatan baginya dalam menjalankan kepercayaan. Ia juga menjaga agar perusahaan bersikap transparan. “Jangan bohong, itu saja. Agar dipercaya, kami juga memberikan servis atau pelayanan, misalnya lampu jangan sering mati, perizinan tepat pada waktunya,” papar Purnomo yang juga mempunyai prinsip untuk selalu menaati semua peraturan yang telah ada.



Mungkin itulah yang membuat perusahaan besar seperti Djarum, Gudang Garam, Bank Muamalat dan Indofood menjadi klien Leveleight. Dan mungkin upaya itulah yang menyebabkan Leveleight bisa cepat merangkak menjadi perusahaan media luar terbesar kelima dalam waktu singkat. “Sebenarnya, planning kami tidak ngoyo. Jalan pelan tapi pasti. Kami nggak mau cari peringkat terlalu cepat. Mungkin kami bisa banyak mendapat titik. Tapi apakah tim kami siap mem-back-up. Pelan-pelan saja. Kami yakin, soal rezeki, Tuhan yang ngatur kok,” ungkapnya. Toh, tidak dipungkiri, Purnomo menginginkan Leveleight suatu saat menjadi nomor satu. “Dulu juara satu (dalam olah raga atletik – Red.), masa sekarang juara lima,” sambungnya sambil tergelak.





Farida Nawang Nurini.
sumber : www.swa.co.id

"SPRINTER" INDONESIA SEMAKIN LANGKA

Jakarta, Sinar Harapan
Mantan ”sprinter” Indonesia Asia Purnomo mengaku prihatin dengan merosotnya prestasi para pelari jarak pendek Indonesia. Jangankan prestasi tingkat Asia, di tingkat Asia Tenggara saja Indonesia tertinggal.

”Terus terang saya ‘trenyuh’. Setelah Mardi Lestari, kini belum ada lagi pelari 100 meter putra yang bisa dibanggakan. ”Sprinter” Indonesia semakin langka saja. Kita seperti kehilangan bibit-bibit muda. Padahal nomor 100 meter merupakan nomor paling bergengsi dalam atletik,” ungkap Purnomo kepada SH di Jakarta, Selasa (17/7).

Menurut pelari kelahiran Ajibarang 40 tahun lalu yang kini duduk di Komisi Atlet PB. PASI (Persatuan Atletik Seluruh Indonesia), ada kecenderungan masyarakat Indonesia mulai meninggalkan olahraga atletik. Indikasinya bisa terlihat dengan makin berkurangnya klub-klub atletik baik di Jakarta maupun di daerah.

”Sepertinya anak-anak lebih menyukai sepakbola atau bola basket. Padahal, Atletik sebenarnya juga menjanjikan masa depan yang cerah jika ditekuni dengan serius,” kata Purnomo.

Ia mensinyalir, kelangkaan pelari-pelari jarak pendek putra antara lain disebabkan keterbatasan bibit pelari, bukan pada keterbatasan pelatih.

”Soal pelatih, kita banyak memiliki pelatih yang lisensinya tak perlu diragukan. Hanya saja karena yang dilatih juga tidak banyak, akibatnya belum ada yang muncul ke permukaan,” lanjut Purnomo yang kini menjabat sebagai manajer promosi salah satu produk perlengkapan olahraga.

Belum adanya atlet Indonesia yang kini bisa dijadikan idola di nomor 100 meter, juga menjadi faktor lainnya. ”Kita masih butuh atlet idola untuk memotivasi atlet-atlet muda. Sekarang, kita sedang tidak punya idola,” papar Purnomo.

Pada dekade 80-an, hampir semua pecandu atletik kenal Purnomo. Namanya makin kesohor ketika ia mencatatkan dirinya sebagai pelari tercepat Asia dengan catatan waktu 10.29 detik dan menembus babak semifinal Olimpiade Los Angeles 1984 sekaligus bersaing dengan ”sprinter” kelas dunia ketika itu seperti Carl Lewis (AS) serta Ben Johnson (Kanada).

Prestasi Purnomo tergolong stabil karena catatan waktu yang dibuat Purnomo di setiap event berkisar antara 10,30 sampai 10,39 detik.

Tahun 1987, sukses Purnomo dilanjutkan Mardi Lestari yang secara mengejutkan mampu memecahkan catatan waktu 10,29 milik Purnomo menjadi 10,21 detik di arena Pekan Olahraga Nasional. Sejak itu, ”sprinter” asal Binjai, Sumut, ini menjadi idola. Mardi juga sempat merasakan berlaga di Olimpiade Barcelona 1992. ”Jika keadaan ini tidak segera diperbaiki dan dirangsang, Indonesia takkan punya lagi pelari jarak pendek,” katanya. (kst)

Sumber : Sinar Harapan Rabu, 18 Juli 2001